Oleh: Trisnawaty SPsi MPsi Psikolog
Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin
Makassar
Tanggal
23 juli esok, kita akan kembali memperingati hari anak nasional. Hari itu
menjadi moment istimewa untuk merayakan kebahagiaan dan harapan yang di bawa
oleh anak-anak Indonesia. Mereka adalah cahaya masa depan, dengan mimpi-mimpi
besar yang akan membentuk dunia menjadi lebih baik. Di balik keceriaan mereka,
ada semangat menyala untuk terus mengejar impian. Walaupun tak disangkal bahwa
jalan mereka mengejar mimpi bukanlah jalan yang mudah dan lebih sering sulit
untuk dilalui. Begitu banyak problematika kehidupan yang di harus diselesaikan
agar jalan ini mampu dilalui oleh anak-anak Indonesia. Di tengah gemerlap
modernisasi dan perubahan sosial yang pesat, anak-anak ini menghadapi berbagai
tantangan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Dari
kesenjangan pendidikan hingga masalah kesehatan, dari kekerasan dalam rumah tangga
hingga pengaruh teknologi, tantangan-tantangan ini menuntut perhatian dan
tindakan dari seluruh lapisan masyarakat. Lalu bagaimana kita dapat memberikan
perlindungan dan dukungan terbaik bagi anak-anak Indonesia, agar mereka bisa
tumbuh menjadi pribadi yang sehat, berpendidikan, dan siap menghadapi masa
depan dengan penuh asa?!.
Problematika
yang dihadapi
Anak
Indonesia saat ini belum mendapatkan akses pendidikan yang layak dan merata.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, sekitar 18% anak usia
sekolah tidak memiliki akses ke pendidikan yang layak, terutama di daerah
pedalaman dan terpencil. Kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak di
daerah perkotaan sering kali lebih baik dibandingkan dengan anak-anak di daerah
pedesaan. Laporan UNICEF Indonesia (2020) menunjukkan bahwa hanya 63% anak-anak
di daerah pedalaman menyelesaikan pendidikan dasar, dibandingkan dengan 93% di
daerah perkotaan. Ini dari segi pendidikan. Lalu bagaimana dari segi
kesehatan?. Laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2021
menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-4 tertinggi di dunia untuk
jumlah anak yang mengalami stunting. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2018, prevalensi stunting pada anak balita mencapai 30,8%. Gizi buruk tidak
hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif
dan kemampuan belajar mereka. Tak sampai di situ, kekerasan pada anak juga
menjadi masalah yang akut. Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) pada tahun 2020, terdapat lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap anak
yang dilaporkan setiap tahunnya. Studi dari KPAI (2020) mengungkapkan bahwa 60%
dari kasus kekerasan terjadi di rumah, sementara 30% terjadi di lingkungan
sekolah. Bentuk kekerasan yang paling umum adalah kekerasan fisik, kekerasan
psikologis, dan pelecehan seksual. Kekerasan pada anak berbanding lurus dengan
eksploitasi anak. Menurut data dari International Labour Organization (ILO),
sekitar 7% anak-anak usia 5-17 tahun di Indonesia terlibat dalam pekerjaan yang
berbahaya. Laporan ILO (2019) menunjukkan bahwa sektor pertanian dan industri
merupakan dua sektor utama di mana pekerja anak ditemukan. Di bidang teknologi
saat ini, anak-anak juga menjadi terancam dengan peningkatan penggunaan
teknologi dan media sosial yang tanpa batas dan kontrol. Survei dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2021 menunjukkan
bahwa sekitar 80% anak-anak dan remaja di Indonesia menghabiskan lebih dari 4
jam sehari menggunakan gadget. Studi juga menunjukkan peningkatan kasus
cyberbullying dan paparan konten pornografi di kalangan anak-anak. Hal ini
menyebabkan tingginya sex bebas di kalangan anak dan remaja, tingginya perilaku
LGBT hingga banyaknya kasus HIV AIDS dikalangan anak dan remaja. Menurut
laporan UNAIDS 2021, remaja LGBT, terutama laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki (LSL), menunjukkan prevalensi HIV yang lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum. Data ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) pada
tahun 2022, yang menemukan bahwa prevalensi HIV di kalangan remaja LSL mencapai
sekitar 17%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 0,4%. Belum lagi kecanduan
game online yang akhirnya membuat anak dan remaja terperangkap pada perilaku
judi online. Mudahnya
akses judi online menjadikan siapa saja bisa main judi. Berdasarkan data PPATK
tahun 2017-2022 dari sekitar 2,7 juta orang yang bermain judi online, sebanyak
2.190.447 orang melakukan aktivitas pertaruhan dengan nominal kecil (dibawah
100 ribu), diduga mereka ini golongan warga berpenghasilan rendah. Dari sisi
usia, para pemain judi online didominasi anak muda usia 17-22 tahun. Terdapat
440 ribu orang berusia 10-20 tahun yang bermain judi online, usia 21-30 tahun
berjumlah 520 ribu orang. Bahkan yang mencengangkan, ketua Satgas Judi Online
Hadi Tjahjanto mengungkap bahwa 2 persen atau 80 ribu pemain judi online adalah
anak berusia 10 tahun.
Fakta-fakta
dari problematika ini sering menggelitik kecemasan kita, akankah generasi ini
mampu menjadi generasi emas di masa depan?!. Apalagi saat melihat tingginya
privalensi dari berbagai masalah yang dihadapi anak dan remaja saat ini, kita
seperti sedang memupus asa akan indahnya mimpi memiliki generasi yang sehat,
cerdas dan mampu memimpin negara ini menjadi lebih baik. Lalu apa yang harus
dilakukan sebagai orang tua?. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjadi
orang tua sholih. Jika ingin anak yang sholih maka orang tua wajib menjadi
qudwah atau teladan. Keteladan pada orang tua ini, akan menjadi role model
untuk anak. Membangun pondasi keimanan yang kokoh, agar anak bisa memilih mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Selain itu membangun
koneksi dengan anak penting dilakukan. Orang tua akan mampu mengoreksi anak
jika orang tua memiliki koneksi yang baik dengan anak. Koneksi yang baik akan
memudahkan komunikasi yang efektif. Anak akan menjadikan orang tua sebagai
sumber hukum dan sumber solusi jika anak mempercayai orang tuanya. Kepercayaan
ini terbentuk dari komunikasi efektif yang terbangun dengan baik. Begitupun
dengan penggunaan teknologi, mengapa anak-anak kita kecanduan, karena pada
dasarnya orang tua juga sangat fokus dengan ponselnya hingga waktu mereka
banyak bersama ponsel dan pekerjaan. Padahal, masa-masa anak memegang ponsel
adalah masa dimana orang tua seharusnya bisa mengajari mereka tentang
pentingnya litersi digital, kesadaran dalam menyaring informasi dan mengajarkan
anak-anak tentang penggunaan teknologi dan media sosial yang bijak dan aman.
Ini termasuk mengatur waktu layar, menjaga privasi online, memahami risiko
cyberbullying, game online yang berbahaya hingga judi online yang bisa membunuh.
Namun seberapa kuat orang tua mendidik jika negara tak hadir dalam menjaga
ketahanan keluarga, hanya akan menjadi cerita kosong belaka. Ketahanan keluarga
tidak akan mampu terbangun jika negara juga tidak menjadi negara yang mampu
menjadi perisai untuk melindungi keluarga. Negara memiliki peran yang sangat
penting dalam menyelesaikan berbagai problematika anak melalui kebijakan,
program, dan tindakan yang komprehensif. Penegakan hukum yang tegas dan juga
ketakwaan para penegak hukum menjadi satu indikator utama keadilan bisa
ditegakkan, pemerintahan yang bersih dan tidak ikut bermain dalam kekisruhan
masalah-masalah yang menimpa anak akan mampu mengurangi problematika yang
terjadi pada anak saat ini. Mari membayangkan sebuah negara di mana setiap anak
mendapatkan pendidikan yang berkualitas, akses kesehatan yang memadai, dan
tumbuh tanpa rasa takut akan kekerasan atau eksploitasi, tidak mengalami
kecanduan apapun dan tumbuh dengan bahagia. Ini bukan hanya impian, tetapi
tujuan yang dapat kita capai bersama. Komitmen yang kuat dari orang tua,
dukungan penuh dari masyarakat, serta kebijakan dan tindakan nyata dari
pemerintah, akan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi
setiap anak. Dalam semangat Hari Anak Nasional, mari kita berkolaborasi untuk
membangun masa depan yang lebih cerah dan penuh harapan bagi generasi penerus
kita. Setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini akan memberikan dampak
besar bagi kesejahteraan anak-anak kita di masa mendatang.