Melawan Asa: Perlindungan Hak Anak di Tengah Dinamika Sosial, Mungkinkah?

  • 24 Juli 2024
  • 12:55 WITA
  • Administrator
  • Berita

Oleh: Trisnawaty SPsi MPsi Psikolog
Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar


Tanggal 23 juli esok, kita akan kembali memperingati hari anak nasional. Hari itu menjadi moment istimewa untuk merayakan kebahagiaan dan harapan yang di bawa oleh anak-anak Indonesia. Mereka adalah cahaya masa depan, dengan mimpi-mimpi besar yang akan membentuk dunia menjadi lebih baik. Di balik keceriaan mereka, ada semangat menyala untuk terus mengejar impian. Walaupun tak disangkal bahwa jalan mereka mengejar mimpi bukanlah jalan yang mudah dan lebih sering sulit untuk dilalui. Begitu banyak problematika kehidupan yang di harus diselesaikan agar jalan ini mampu dilalui oleh anak-anak Indonesia. Di tengah gemerlap modernisasi dan perubahan sosial yang pesat, anak-anak ini menghadapi berbagai tantangan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Dari kesenjangan pendidikan hingga masalah kesehatan, dari kekerasan dalam rumah tangga hingga pengaruh teknologi, tantangan-tantangan ini menuntut perhatian dan tindakan dari seluruh lapisan masyarakat. Lalu bagaimana kita dapat memberikan perlindungan dan dukungan terbaik bagi anak-anak Indonesia, agar mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sehat, berpendidikan, dan siap menghadapi masa depan dengan penuh asa?!.

 

Problematika yang dihadapi

Anak Indonesia saat ini belum mendapatkan akses pendidikan yang layak dan merata. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, sekitar 18% anak usia sekolah tidak memiliki akses ke pendidikan yang layak, terutama di daerah pedalaman dan terpencil. Kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak di daerah perkotaan sering kali lebih baik dibandingkan dengan anak-anak di daerah pedesaan. Laporan UNICEF Indonesia (2020) menunjukkan bahwa hanya 63% anak-anak di daerah pedalaman menyelesaikan pendidikan dasar, dibandingkan dengan 93% di daerah perkotaan. Ini dari segi pendidikan. Lalu bagaimana dari segi kesehatan?. Laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-4 tertinggi di dunia untuk jumlah anak yang mengalami stunting. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting pada anak balita mencapai 30,8%. Gizi buruk tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif dan kemampuan belajar mereka. Tak sampai di situ, kekerasan pada anak juga menjadi masalah yang akut. Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2020, terdapat lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan setiap tahunnya. Studi dari KPAI (2020) mengungkapkan bahwa 60% dari kasus kekerasan terjadi di rumah, sementara 30% terjadi di lingkungan sekolah. Bentuk kekerasan yang paling umum adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan pelecehan seksual. Kekerasan pada anak berbanding lurus dengan eksploitasi anak. Menurut data dari International Labour Organization (ILO), sekitar 7% anak-anak usia 5-17 tahun di Indonesia terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Laporan ILO (2019) menunjukkan bahwa sektor pertanian dan industri merupakan dua sektor utama di mana pekerja anak ditemukan. Di bidang teknologi saat ini, anak-anak juga menjadi terancam dengan peningkatan penggunaan teknologi dan media sosial yang tanpa batas dan kontrol. Survei dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar 80% anak-anak dan remaja di Indonesia menghabiskan lebih dari 4 jam sehari menggunakan gadget. Studi juga menunjukkan peningkatan kasus cyberbullying dan paparan konten pornografi di kalangan anak-anak. Hal ini menyebabkan tingginya sex bebas di kalangan anak dan remaja, tingginya perilaku LGBT hingga banyaknya kasus HIV AIDS dikalangan anak dan remaja. Menurut laporan UNAIDS 2021, remaja LGBT, terutama laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), menunjukkan prevalensi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) pada tahun 2022, yang menemukan bahwa prevalensi HIV di kalangan remaja LSL mencapai sekitar 17%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 0,4%. Belum lagi kecanduan game online yang akhirnya membuat anak dan remaja terperangkap pada perilaku judi online. Mudahnya akses judi online menjadikan siapa saja bisa main judi. Berdasarkan data PPATK tahun 2017-2022 dari sekitar 2,7 juta orang yang bermain judi online, sebanyak 2.190.447 orang melakukan aktivitas pertaruhan dengan nominal kecil (dibawah 100 ribu), diduga mereka ini golongan warga berpenghasilan rendah. Dari sisi usia, para pemain judi online didominasi anak muda usia 17-22 tahun. Terdapat 440 ribu orang berusia 10-20 tahun yang bermain judi online, usia 21-30 tahun berjumlah 520 ribu orang. Bahkan yang mencengangkan, ketua Satgas Judi Online Hadi Tjahjanto mengungkap bahwa 2 persen atau 80 ribu pemain judi online adalah anak berusia 10 tahun.

 

Fakta-fakta dari problematika ini sering menggelitik kecemasan kita, akankah generasi ini mampu menjadi generasi emas di masa depan?!. Apalagi saat melihat tingginya privalensi dari berbagai masalah yang dihadapi anak dan remaja saat ini, kita seperti sedang memupus asa akan indahnya mimpi memiliki generasi yang sehat, cerdas dan mampu memimpin negara ini menjadi lebih baik. Lalu apa yang harus dilakukan sebagai orang tua?. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjadi orang tua sholih. Jika ingin anak yang sholih maka orang tua wajib menjadi qudwah atau teladan. Keteladan pada orang tua ini, akan menjadi role model untuk anak. Membangun pondasi keimanan yang kokoh, agar anak bisa memilih mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Selain itu membangun koneksi dengan anak penting dilakukan. Orang tua akan mampu mengoreksi anak jika orang tua memiliki koneksi yang baik dengan anak. Koneksi yang baik akan memudahkan komunikasi yang efektif. Anak akan menjadikan orang tua sebagai sumber hukum dan sumber solusi jika anak mempercayai orang tuanya. Kepercayaan ini terbentuk dari komunikasi efektif yang terbangun dengan baik. Begitupun dengan penggunaan teknologi, mengapa anak-anak kita kecanduan, karena pada dasarnya orang tua juga sangat fokus dengan ponselnya hingga waktu mereka banyak bersama ponsel dan pekerjaan. Padahal, masa-masa anak memegang ponsel adalah masa dimana orang tua seharusnya bisa mengajari mereka tentang pentingnya litersi digital, kesadaran dalam menyaring informasi dan mengajarkan anak-anak tentang penggunaan teknologi dan media sosial yang bijak dan aman. Ini termasuk mengatur waktu layar, menjaga privasi online, memahami risiko cyberbullying, game online yang berbahaya hingga judi online yang bisa membunuh. Namun seberapa kuat orang tua mendidik jika negara tak hadir dalam menjaga ketahanan keluarga, hanya akan menjadi cerita kosong belaka. Ketahanan keluarga tidak akan mampu terbangun jika negara juga tidak menjadi negara yang mampu menjadi perisai untuk melindungi keluarga. Negara memiliki peran yang sangat penting dalam menyelesaikan berbagai problematika anak melalui kebijakan, program, dan tindakan yang komprehensif. Penegakan hukum yang tegas dan juga ketakwaan para penegak hukum menjadi satu indikator utama keadilan bisa ditegakkan, pemerintahan yang bersih dan tidak ikut bermain dalam kekisruhan masalah-masalah yang menimpa anak akan mampu mengurangi problematika yang terjadi pada anak saat ini. Mari membayangkan sebuah negara di mana setiap anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, akses kesehatan yang memadai, dan tumbuh tanpa rasa takut akan kekerasan atau eksploitasi, tidak mengalami kecanduan apapun dan tumbuh dengan bahagia. Ini bukan hanya impian, tetapi tujuan yang dapat kita capai bersama. Komitmen yang kuat dari orang tua, dukungan penuh dari masyarakat, serta kebijakan dan tindakan nyata dari pemerintah, akan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi setiap anak. Dalam semangat Hari Anak Nasional, mari kita berkolaborasi untuk membangun masa depan yang lebih cerah dan penuh harapan bagi generasi penerus kita. Setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini akan memberikan dampak besar bagi kesejahteraan anak-anak kita di masa mendatang.