Ikan yang Hangus dan Otak yang tak Benar-benar Multitasking

  • 16 Oktober 2025
  • 10:33 WITA
  • Administrator
  • Berita

Oleh: Trisnawaty. M.Psi., Psikolog


Pagi ini, dapur saya jadi saksi bisu antara ambisi dan realita. Saya mencoba menjadi “superwoman”, menggoreng ikan sambil membuat soal kuis mahasiswa. Awalnya berjalan baik, sampai tiba-tiba aroma “inovasi gosong” tercium. Iya, ikannya hangus. Saya tertawa kecil, lalu terdiam lama. Lalu menemukan insight bahwa, ini bukan sekadar kisah tentang masakan yang gagal. Namun, ini tentang bagaimana pikiran kita bekerja.

Kita sering merasa bisa mengerjakan banyak hal sekaligus. Menjawab pesan, menulis laporan, sambil mendengarkan mahasiswa bimbingan. Tapi sebenarnya, menurut psikologi kognitif, otak manusia tidak benar-benar multitasking. Ia hanya berpindah fokus dengan sangat cepat (rapid task switching).

Dalam psikologi kognitif, fokus adalah kemampuan otak untuk memusatkan sumber daya mental pada satu tugas. Ketika kita mencoba melakukan dua hal yang menuntut konsentrasi seperti menulis soal dan mengatur masakan di kompor, otak tidak benar-benar mengerjakannya bersamaan. Ia hanya berpindah dengan cepat dari satu tugas ke tugas lain (task switching). Setiap perpindahan kecil itu menimbulkan biaya mental (cognitive cost) seperti energi berkurang, kecepatan menurun, dan risiko kesalahan bisa jadi meningkat. Maka, jangan heran jika bukan hanya ikan yang bisa gosong, tapi juga hasil kerja, emosi, bahkan kesejahteraan psikologis menjadi berkurang.

Lalu saya ingat salah satu penelitian yang dilakukan oleh Clifford Nass (Stanford University) yang saya baca semalam. Ia menemukan bahwa orang yang sering multitasking cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih pendek, memori kerja yang lemah, dan sulit menyaring gangguan. Dengan kata lain, semakin kita terbiasa melakukan banyak hal sekaligus, semakin sulit kita benar-benar hadir dalam satu hal. (Ophir, E., Nass, C., & Wagner, A. D. (2009). Cognitive control in media multitaskers. Proceedings of the National Academy of Sciences, 106(37), 15583–15587. https://doi.org/10.1073/pnas.0903620106).

Sedangkan dari perspektif psikologi positif, fokus bukan sekadar kemampuan intelektual, tapi juga bentuk mindfulness, kesadaran utuh pada saat kini. Ketika kita fokus, kita sedang melatih diri untuk hadir sepenuhnya, merasakan proses, dan memberi makna pada apa yang kita lakukan. Fokus melatih self-regulation (pengaturan diri), menurunkan stres, dan meningkatkan rasa puas terhadap hasil kerja. Sementara multitasking sering menimbulkan split attention, yang membuat kita cepat lelah, mudah frustrasi, dan merasa seolah-olah 'selalu sibuk tapi tidak selesai apa-apa’ (saya banget ini…hahaha).

Ikan gosong pagi ini akhirnya menjadi guru yang lembut buat saya. Ia mengingatkan saya bahwa kehadiran penuh jauh lebih berharga daripada kecepatan semu (mungkin pada hal ringan boleh saja multitasking namun tidak pada hal yang membutuhkan konsetrasi lebih). Saya juga akhirnya menemukan insight bahwa kualitas kerja dan ketenangan batin tidak lahir dari banyaknya aktivitas, tetapi dari kedalaman perhatian dan konsetrasi. Jadi, jika suatu hari anda merasa sedang kalah oleh tumpukan tugas, berhentilah sejenak dan tarik nafas perlahan namun teratur. Fokuslah pada satu hal. Lalu mari hadir di sana. Karena mungkin, saat itulah anda sedang menyelamatkan bukan hanya pekerjaan anda tapi juga diri anda sendiri. Karena kehadiran penuh adalah salah satu bentuk kasih sayang tertinggi kepada diri sendiri. 

Makassar, 15 Oktober 2025

Catatan Pinggir sang dosen