Bangkitlah

  • 20 Mei 2025
  • 03:28 WITA
  • Administrator
  • Berita

Bangkitlah!

(Sebuah Catatan dari Boedi Oetomo hingga Hari Kebangkitan)

Dewi Setiawati

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar



117 tahun yang lalu, tepatnya pada 20 Mei 1908, di asrama pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen)—sekolah kedokteran untuk pribumi di Batavia—sekelompok anak muda tidak sedang sibuk main TikTok, ngopi-ngopi estetik, atau debat receh di kolom komentar. Mereka berpikir keras:

Bagaimana caranya agar bangsa ini tidak terus dijajah, tidak terus ditertawakan, dan tidak selamanya berada di urutan paling belakang?

Bagaimana caranya agar rakyat Indonesia bisa hidup sehat, terdidik, dan bermartabat?


Di tengah aroma formalin dan diktat anatomi yang tebalnya bisa dijadikan ganjal pintu, muncul sosok dr. Soetomo, seorang mahasiswa kedokteran muda penuh semangat. Ia tidak sendiri. Bersama Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji, dan tokoh-tokoh besar seperti Soewardi Soerjaningrat (kelak dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara), Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Wahidin Soedirohoesodo, mereka mendirikan organisasi modern pertama bernama Boedi Oetomo.


Organisasi ini bukan sekadar klub diskusi sore. Ia adalah kendaraan awal kebangkitan nasional. Mereka sadar: bangsa yang sakit butuh disembuhkan, bukan dengan senjata, tapi dengan pendidikan, persatuan, dan kebijaksanaan. Mereka bukan hanya calon dokter; mereka adalah penyembuh luka bangsa.


Boedi Oetomo lahir dari rahim kaum terdidik. Mereka adalah representasi generasi yang tahu bahwa ilmu dan kesadaran adalah dua pilar kebangkitan. Mereka paham:

penyakit terbesar bangsa bukan tifus atau TBC, tapi ketidakpedulian dan penindasan yang membudaya.


Mereka melihat Indonesia seperti pasien koma: napas masih ada, tapi tidak sadar siapa dirinya. Maka kebangkitan adalah terapi pertama—dan satu-satunya—yang bisa membangunkan kita.



117 tahun berlalu.


Namun semangat juang pemuda kini makin rabun, seperti mata yang mulai presbiopi—bukan karena usia saja, tapi karena terlalu sering menatap layar tanpa membaca kenyataan.

Kita mulai sulit membedakan mana cahaya ilmu, mana kilau popularitas.

Bangsa kita seperti sedang menopause nilai dan andropause integritas.


Dunia kedokteran hari ini menghadapi tantangan besar.

Alih-alih dihormati, profesi dokter kerap menjadi sasaran tudingan, bahkan framing negatif di media sosial. Edukasi yang seharusnya menjadi garda terdepan, kalah oleh clickbait dan hoaks kesehatan yang menyebar lebih cepat dari virus.


Dunia pendidikan pun tak kalah kompleks.

Alih-alih membebaskan, sistemnya sering membebani. Guru diburu administrasi, mahasiswa diburu kuota. Merdeka belajar diinterpretasi bebas tugas, bukan bebas berpikir.

Bahkan tak sedikit dosen dan guru—pewaris semangat Boedi Oetomo—yang merasa seperti robot kurikulum, bukan lagi pelita bagi peradaban.


Tapi justru di tengah situasi inilah daya ledak kebangkitan harus muncul kembali.

Kita tak bisa terus duduk nyaman melihat kebodohan dipertontonkan, kejujuran dikalahkan, dan profesionalisme dikerdilkan.


Tiba saatnya: Bangkitlah, wahai kawan!


Bangkit dari lelah yang berlarut. Bangkit dari ragu yang terlalu dalam.

Bangkit dari pasrah yang disamarkan sebagai ikhlas.


Kata bangkit memang sederhana. Tapi esensinya dalam:

dari diam menjadi gerak, dari bingung menjadi sadar, dari zona nyaman menuju zona juang.


Bangkit bukan sekadar posisi tubuh. Ia adalah gerakan batin.

Bangkit adalah tanda bahwa jiwa masih punya arah dan cita-cita.



---


Dan jangan lupa, kita ini sedang dalam perjalanan panjang menuju kebangkitan sejati: Hari Kebangkitan.

Hari di mana manusia dibangkitkan dari kubur, bukan untuk kuliah atau rapat senat, tapi untuk dihisab.

Di sana, tidak ada presensi kehadiran—yang ada hanyalah catatan amal.

Tidak ada zonasi, akreditasi, atau beasiswa. Yang dinilai bukan IPK, tapi integritas.


Maka kita bertanya pada diri sendiri:

"Sudahkah aku bangkit hari ini, sebelum benar-benar dibangkitkan nanti?"


Sejarah telah menulis nama-nama agung: Soetomo, Wahidin, Tjipto, Soewardi…

Sekarang giliran kita. Bukan sekadar menjadi penonton sejarah, tapi pelaku.


Jangan cuma bangkit karena alarm. Bangkitlah karena panggilan nurani.

Bangkit dari malas. Dari takut. Dari ketidakjujuran. Dari ketidakpedulian.

Karena terlalu lama rebahan bisa bikin kita lupa… bahwa waktu tak pernah rebahan menunggu kita.


Bangkitlah. Hari ini. Detik ini.

Sebelum kita benar-benar dibangkitkan nanti.

Karena sejarah tak pernah ditulis oleh mereka yang nyaman.

Ia hanya mencatat mereka yang berani keluar dari zona rebahan menuju zona perubahan.

Berita Terkait

Bangkitlah

  • 20 Mei 2025
  • 15:28 WITA