Autoimun

  • 21 Mei 2025
  • 10:39 WITA
  • Administrator
  • Berita

AUTOIMUN

Oleh: Dewi Setiawati

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar


Bayangkan tubuh kita seperti sebuah kerajaan. Di dalamnya ada pasukan elite: sistem imun. Mereka ini semacam paspampres biologis—tugasnya menjaga perbatasan, menghalau musuh macam virus, bakteri, dan penyusup asing lainnya. Tapi kadang, pasukan ini keliru dalam membaca situasi. Mereka panik. Gagal mengenali mana musuh, mana rakyat sendiri. Lalu mulailah kekacauan: istana diserbu, rakyat disikat, bahkan raja pun ikut diserang.

Inilah yang disebut autoimun—ketika tubuh menyerang dirinya sendiri.

Sistem pertahanan yang semestinya jadi pelindung justru berubah jadi ancaman dari dalam. Ibarat satpam kompleks yang malah mencurigai penghuni rumah dan menendang pintu  warga sendiri tengah malam karena dikira maling.

Lucu? Iya. Menyedihkan? Juga. Tapi menariknya, autoimun bukan cuma soal medis—ini juga soal cara kita memandang hidup.

---


Autoimun: Ketika "Overthinking" Menjelma dalam Sel

Secara medis, autoimun terjadi karena sistem kekebalan tubuh gagal membedakan mana "musuh" dan mana "aku." 

Bahasa Makassarnya? Beleng-beleng!

Alih-alih melawan virus atau bakteri, ia justru menyerang organ sehat: kulit, sendi, kelenjar tiroid, bahkan otak.

Ada banyak bentuknya: lupus, psoriasis, rheumatoid arthritis, Hashimoto, multiple sclerosis, dan lainnya. Semuanya punya cerita, tapi benang merahnya sama: tubuh yang gelisah.

Coba bayangkan sistem imun ini seperti orang yang hidup dalam ketakutan kronis—sedikit-sedikit curiga, sedikit-sedikit marah, reaktif luar biasa. Akhirnya, semua yang bergerak dianggap ancaman. Lalu dimusnahkan. Habis-habisan. Termasuk yang tak bersalah.

Autoimun itu seperti overprotektif yang kelewatan. Seperti orang tua yang karena takut anaknya terluka, malah membuat anak tak bisa hidup. 

---


Autoimun Jiwa: Saat Diri Menyerang Diri Sendiri

Coba kita tarik ke ranah batin.

Bukankah manusia juga sering begitu?

Terlalu cepat tersinggung. Sedikit kritik langsung dianggap hinaan. Perbedaan pandangan dicap permusuhan. Kita mudah terbakar emosi, lalu tanpa sadar membakar relasi. Dan yang paling parah: kita sering terlalu keras pada diri sendiri.

Kita marahi diri karena tidak cukup pintar, tidak cukup kurus, tidak cukup sukses, tidak cukup... apa pun itu.

Ini pun autoimun, tapi versi jiwa.

Saat batin tak lagi ramah pada dirinya sendiri. Saat doa berubah jadi daftar tuntutan. Saat cinta kehilangan welas asih. Saat sibuk ingin jadi sempurna, tapi lupa bahwa menjadi manusia itu soal merangkul ketidaksempurnaan.


Menurut Mayo Clinic (2023), sekitar 4,6% penduduk Amerika mengalami setidaknya satu penyakit autoimun. Menariknya, perempuan dua kali lebih berisiko dibanding pria. Kenapa? Karena hormon—terutama estrogen—punya pengaruh besar pada sistem imun. Ditambah lagi stres, polusi, infeksi, ketidakseimbangan mikrobiota usus, dan tentu saja: gaya hidup modern yang tidak sehat.

Penyakit ini bukan hanya kisah antibodi dan sel. Ini juga pesan. Sebuah alarm sunyi yang ingin berkata:

“Tubuhmu kelelahan. Hatimu butuh pelukan. Hidupmu butuh keseimbangan.”

Mungkin, kita terlalu sering menolak bagian dari diri kita yang rapuh. Terlalu sibuk menyembunyikan luka. Terlalu takut untuk tampak lemah. Maka tubuh pun bicara. Dengan caranya sendiri. Lewat nyeri. Lewat ruam. Lewat kelelahan yang tak kunjung pulih.

Bisa jadi tubuh ingin mengajak kita berdamai—dengan masa lalu, dengan emosi, dengan diri yang utuh. Yang tak harus selalu kuat. Tak harus selalu menang.

Hidup yang sehat, pada akhirnya, adalah hidup yang tahu kapan harus melawan... dan kapan harus memeluk.

Berita Terkait

Autoimun

  • 21 Mei 2025
  • 10:39 WITA

Bangkitlah

  • 20 Mei 2025
  • 15:28 WITA